Hidup memang penuh kejutan,
setidaknya bagiku. Semuanya berawal dari pembicaraanku dengan Mama sebulan yang
lalu. Aku dan Mama sedang sarapan saat Mama tiba-tiba membuka pembicaraan.
“Sampai kapan Mama harus mengurus
kamu, Bram?” Pertanyaan Mama membuatku tertegun.
”Maksud Mama?” aku menatap Mama.
Mencoba menerka arah pembicaraannya.
”Yah, bukankah sudah saatnya ada
perempuan lain yang menemani kamu sarapan?” Mama tersenyum menatapku.
Mungkin memang sudah waktunya aku
menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Penghasilanku sebagai manager
di salah satu perusahaan asing cukup memadai untuk berumah tangga. Apalagi yang
ditunggu? Pertanyaan ini sudah sangat sering kudengar dari kerabat ataupun
kolegaku.
Aku tersenyum kecil.
”Mama tahu, kamu merasa
bertanggungjawab kepada Mama dan adik-adikmu. Tetapi jangan lupakan yang satu
itu. Mira sudah berkeluarga, Dewi juga. Sementara Mama sudah lebih dari cukup
menerima perhatianmu. Mama sangat bersyukur memiliki anak sepertimu.”
Aku terdiam.
”Bram, Papa titip Mira dan Dewi…juga
Mama…” Papa berbisik perlahan sehari sebelum kematiannya, sepuluh tahun yang
lalu. Saat itu, Mira baru saja masuk kuliah dan Dewi masih kelas satu SMU.
Sejak itu, hari-hariku kuisi dengan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan
keluarga.
”Bram…” Mama menunggu jawabanku.
”Iya, iya, Insya Allah. Ma…”
Mama benar. Tidak ada lagi alasan
bagiku untuk menunda rencana berkeluarga. Dewi sudah menikah tiga bulan yang
lalu. Amanah Papa sudah kutunaikan. Persoalannya adalah, siapa wanita yang akan
kunikahi? Aku tidak pernah pacaran. Aku takut terjebak melakukan perbuatan yang
tidak baik. Alternatif calon juga tidak ada. Jadi, siapa yang akan kulamar?
Sebenarnya, aku bisa minta bantuan
kepada orang lain. Mama, kerabat atau kolegaku dengan senang hati pasti akan
berusaha membantu. Tetapi, sebelum meminta bantuan orang lain, aku akan sholat
istikharah dulu. Aku ingin melangkah dengan tenang.
Dan terjadilah keajaiban itu.
Setelah dua kali sholat, tiba-tiba Laras muncul dalam mimpiku. Begitu jelas.
Laras? Aku tercengang. Laras adalah teman kuliahku di Pasca Sarjana. Sudah
hampir dua semester ini aku kuliah lagi di salah satu PT terkenal di Jakarta.
Ia sangat cerdas dan rasional. Ia juga kerap membantaiku dalam diskusi-diskusi
di ruang kuliah.
”Menurut saya, teori yang saudara
gunakan untuk menganalisa persoalan ini tidak tepat. Terlalu dipaksakan…”
Komentar Laras saat membantaiku seminggu sebelumnya terngiang kembali di
telingaku. Komentar yang diucapkannya dengan santun itu selalu membuatku
gelagapan. Komentarnya selalu logis, ilmiah dan sulit dibantah. Sudah
berkali-kali aku dan teman-teman ’dibantainya’.
Ya, mengapa harus Laras? Perempuan
yang kepribadiannya begitu kuat dan tenang, sampai tidak ada pria yang berani
menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Sebenarnya Laras baik, sangat baik. Ia
tidak pernah segan membantu orang lain atau berkata kasar. Tetapi aku benar-benar
sungkan menghadapinya. Apalagi membayangkan harus melamarnya.
Mimpi itu juga menyisakan pertanyaan
buatku. Benarkah ini isyarat Allah? Atau, aku diam-diam menyukainya sehingga
sosok Laras muncul dalam mimpiku. Aku bimbang.
“Bagaimana, Bram?” Mama meminta
kejelasan dariku dua minggu kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.
“Belum ada calon? Apa perlu Mama
bantu?” Mama menatapku.
Aku tergagap. “Tidak perlu, Ma. Saya
akan mencoba mencari sendiri saja.” Mama tersenyum. Aku menarik napas lega.
Untuk sementara aku berhasil menenangkan Mama.
Malamnya, aku mencoba menenangkan
diri dan mulai sholat istikharah lagi. Kali ini, aku mencoba lebih tenang dan
pasrah kepada Allah. Aku mencoba melepaskan segala kebimbangan dan
sungguh-sungguh meminta keputusan-Nya.
Aku berjalan bersisian dengan Laras.
Begitu dekat. Laras tersenyum. Manis dan sangat lembut. Mimpi itu lagi! Aku
terbangun menjelang pukul tiga dinihari. Sebentuk perasaan aneh masih sempat
kurasakan saat aku terbangun. Indah!
Apakah Laras memang jodohku?
Pertanyaan itu kembali bermain dalam benakku. Aku mencoba menelisik kembali
kejernihan hatiku. Benarkah aku memang tidak terobsesi kepada Laras? Aku
mengurai kembali semua interaksiku dengan Laras. Sejak pertemuan pertama.
”Saya Laras!” Ia memperkenalkan diri
dengan lugas, tanpa senyum. Juga tanpa jabat tangan. Aku hanya mengangguk.
”Bram.” Aku menyebutkan namaku.
Dingin, tapi cukup sopan. Itu kesan pertamaku. Ia tidak genit atau cerewet
seperti satu dua orang perempuan yang pernah kukenal. Seingatku, tidak pernah
ada momen istimewa antara aku dengan Laras. Benar-benar hanya hubungan antar
teman kuliah. Aku malah lebih akrab dengan Susi, teman kuliahku yang lain. Aku
juga tidak pernah merasa ’aneh’ saat berinteraksi atau berpapasan dengannya.
Bahkan ketika aku nyaris bertabrakan dengannya. Semua wajar dan biasa saja.
So? Aku masih tetap ragu. Kuputuskan
untuk menunggu sampai benar-benar merasa yakin. Dan selama masa menunggu itu,
terjadi suatu peristiwa yang semakin membuatku merasa ciut menghadapi Laras.
”Maaf…” Laras mengacungkan tangan.
Semua mata tertuju kepadanya. Aku menahan napas. Apa yang akan dikatakannya
kali ini. Aku berdebar-debar menunggu komentarnya atas makalah yang
kupresentasikan.
”Menurut saya, makalah ini tidak
memenuhi kualifikasi ilmiah.” kata-kata itu diucapkannya dengan nada meminta
maaf. Aku terkejut. Makalah ini memang kusiapkan dengan terburu-buru.
Pekerjaanku di kantor sedang bertumpuk. Beberapa teman menggumam. Dosenku
tersenyum kecil. Ia sudah biasa menghadapi Laras.
Aku tersinggung dan merasa
dipermalukan. Ini adalah komentar paling tajam yang pernah dilontarkan Laras
kepadaku. Walaupun kemudian aku bisa menerimanya saat ia dengan argumentatif
menjelaskan kelemahan makalahku.
Kejadian itu membuatku semakin ragu.
Entahlah, barangkali aku merasa tidak siap mempunyai istri yang dapat
membantaiku setiap saat. Atau mempertanyakan kebijakanku sebagai suami. Aku
memang tidak terbiasa dipertanyakan seperti itu. Kedudukanku sebagai anak
tertua dan tulang punggung keluarga membuat adik-adikku dan Mama
memperlakukanku secara istimewa. Apa kata Mas saja, terserah Mas… Selalu itu
yang kudengar dari mereka. Kalaupun mereka tidak sependapat denganku, tidak
pernah ada yang secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya. Begitu juga dengan
bawahanku di kantor.
Aku semakin tidak berani
menghadapinya setelah peristiwa itu. Jadi, untuk sementara aku terpaksa
menenangkan diri lagi. Tapi desakan dari Mama tiga hari yang lalu membuatku
terpaksa bertindak.
”Bram, mungkin sudah waktunya Mama
membantu. Sudah sebulan, dan kamu belum juga bertindak apa-apa. Mama sudah
semakin tua, Bram. Belakangan ini, Mama semakin sering sakit. Mama tidak ingin
terjadi sesuatu pada diri Mama sebelum kamu menikah…” Mama berkata setengah
memohon. Aku menunduk.
”Bram…”
Aku menatap Mama. Mama menarik napas
panjang. Aku menunggu Mama bicara.
”Kalau tiga hari lagi tidak ada
keputusan, Mama akan mencari calon untuk kamu. Kamu kenal Nita? Anak Bu Retno?
Nita baik, lho… Dia juga cantik dan terpelajar…” Bla…bla…bla. Hampir lima belas
menit Mama bercerita tentang Nita. Aku kenal Nita. Nita memang baik, tetapi
bukan itu persoalannya. Aku ingin menuntaskan masalah Laras dulu.
Tidak ada jalan lain. Akhirnya,
kumantapkan hatiku untuk bicara dengan Laras. Tapi, bagaimana caranya? Lewat
telepon? Nomer telepon Laras saja aku tidak punya. Atau, mengajaknya bicara
secara langsung? Bagaimana kalau ia menolak dan membantaiku seperti ia
membantai makalahku?
Akhirnya, kuputuskan untuk meminta
nomer telepon Laras dari Susi. Aku berhasil menghindar dari pertanyaan Susi
dengan memberinya sebentuk senyuman aneh. Untungnya, ia tidak bertanya lebih
jauh.
Malamnya, aku mencoba menelpon
Laras. Aku menggenggam Hp-ku dengan perasaan tidak karuan. Dengan tangan
gemetar aku menelponnya.
”Halo, Assalamu’alaikum!” Suaranya
terdengar tegas. Tiba-tiba aku merasa tidak siap berbicara dengannya.
”Halo! Halo!”
Aku mematikan Hp-ku. Looser!
Gerutuku dalam hati. Aku benar-benar tidak berdaya.
”Bram, waktunya tinggal hari ini.”
Mama menatapku serius saat aku berpamitan tadi pagi.
”Ya, Ma. Aku usahakan.” Aku menjawab
ragu.
Jadi, hari ini, mau tidak mau aku
harus bicara dengan Laras. Aku berangkat ke kampus dengan gugup. Sampai di
kampus, aku mencari-cari Laras. Sosoknya tidak kelihatan sampai kuliah dimulai.
Lebih kurang lima belas menit setelah kuliah dimulai, Laras muncul. Ia menuju
kearahku dan mengambil tempat di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang
tersisa siang itu. Laras duduk dengan tenang di sebelahku dan segera mengikuti
kuliah. Aku semakin gelisah. Tubuhku mulai berkeringat.
Kuliah usai. Aku menunggu kesempatan
untuk bicara dengannya. Aku sengaja memperlambat berkemas sambil menunggunya.
Satu persatu teman kuliah meninggalkan ruangan. Akhirnya, setelah ruangan cukup
sepi, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.
”Laras! Boleh saya bicara?”
Laras menghentikan kesibukannya
membereskan buku-buku dan beberapa makalah yang berserakan.
“Ya.” Ia melanjutkan kesibukannya
tanpa menatapku sama sekali.
Tanganku gemetar. Suaraku tersekat
di tenggorokan.
”Ada yang bisa saya bantu?” Laras
akhirnya melihat ke arahku. Ia mulai kelihatan tidak sabar dengan sikapku. Ia
sudah selesai membereskan buku-bukunya.
Aku masih tidak mampu bicara.
Keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Ya Allah, aku benar-benar grogi.
”Bram!” suara Laras meninggi.
Aku menarik napas panjang, mencoba
menenangkan diri sejenak. Yudi, satu-satunya teman yang masih berada di ruang
kuliah menoleh ke arah kami.
“La..ras…” Suaraku tersendat.
Laras menatapku bingung.
“Ehm…would you…ehm…marry
me?” aku tergagap. Akhirnya, keluar juga perkataan itu dari mulutku.
Laras menatapku heran. Ia menunduk,
berpikir sejenak. Aku menunggu. Rasanya seperti menunggu sebuah vonis.
”Kupikir, itu bukan ide yang baik.”
Katanya setelah beberapa menit terdiam. ”Aku duluan, Bram. Assalamu’alaikum…”
Aku terpana. Aku masih juga terpana
saat tiba-tiba Yudi menepuk pundakku.
“Apa tidak ada cara yang lebih
romantis, Bung?” Yudi tersenyum. Aku salah tingkah.
Begitulah, proses perjodohanku
terpaksa kandas di tengah jalan. Aku tidak patah hati. Tentu saja karena aku
memang tidak pernah jatuh cinta pada Laras. Tetapi kuakui, aku cukup terpukul
dengan kenyataan ini. Ternyata, aku tidak cukup pandai membaca isyarat Allah.
Atau, caraku yang tidak baik? Melamar di ruang kuliah tanpa prolog seperti itu
memang naif sekali.
Sore itu aku pulang dengan lemas.
Mama duduk di teras, sedang asyik dengan koran sore dan secangkir teh hangat.
Setelah mencium tangan Mama, aku menghempaskan tubuh di kursi.
Mungkin Mama bisa menangkap
kegetiranku. Mama mengusap rambutku. Aku bersyukur Mama tidak membuka
pembicaraan mengenai perjodohanku. Aku tidak siap.
Sepanjang sore itu aku mencoba
menenangkan diri. Aku mencoba bersikap realistis menghadapi kenyataan ini. Aku
percaya, Allah akan memberikan seorang pendamping untukku.
Pikiranku masih tidak menentu saat
aku bangun tadi pagi. Aku sholat istikharah lagi tadi malam. Tapi kali ini, aku
tidak memperoleh isyarat apa-apa. Akhirnya, kuputuskan untuk bicara dengan
Mama. Toh, Nita gadis yang baik juga.
Aku mendahului bicara sebelum Mama
bertanya tentang keputusanku.
”Ma…”
”Ya? Kenapa, Bram?”
”Aku…” Aku terdiam sejenak. Aku baru
akan melanjutkan ucapanku saat sebuah pesan masuk. Aku meraih HP yang
tergeletak di meja dengan enggan.
Laras???
Apa lagi yang akan dikatakannya sekarang?
Berdebar aku membuka pesannya.
Setelah saya pikirkan lagi, ide kamu
tidak terlalu buruk. Tawarannya masih berlaku?
Aku terpana. Hidup memang penuh
kejutan.
Penulis : Inayati
Sumber : Majalah Ummi, No. 10/XIV Februari
– Maret 2003/1423 H