NAMA : EVI OCTAVIANI
NPM : 32111535
KELAS : 2DB14
TUGAS : PANCASILA
DOSEN : PAK EMILIANSAH BANOWO
BAB 1
HAK
DAN KEWAJIBAN DALAM MEMELUK AGAMA :
DI TUGAS SOFTSKILL INI SAYA AKAN MENYAMPAIKAN PASAL 29
AYAT 1 YANG MENCANGKUP TENTANG HAK DAN
KEWAJIBAN DALAM BERAGAMA :
PENDAHULUAN
:
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa setiap warga Negara
memiliki hak dan kewajiaban dalam memeluk agama yang tertuang dalam pasal
29.dalam UUD 1945 yang merupakan dasar Negara yang
diharapkan menjamin perjalanan kehidupan bangsa beserta warganya, tentunya
dalam suatu sistem ketata-negaraan mutlak hukumnya adanya suatu
perundang-undangan atau peraturan yang mana fungsi utama dari kesemuanya itu
adalah guna mengatur dan mengendalikan arah suatu sistem negara agar tidak
melenceng dari jalurnya. tentunya dalam seluruh aspek kehidupan bernegara,
berbangsa,beragama, dan bermasyarakat di satu tanah air yaitu indonesia. suatu
negara yang demokrasi dan berlandaskan hukum ini tidak melarang adanya suatu
kepercayaan yang di anut oleh warga negaranya sendiri, dan tentunya harus
dilindungi dengan suatu perundang-undangan yang jelas, tegas yang mana menjamin
keamanan dalam menjalankan kehidupan beragama dalam suatu negara yang bersifat
non religius.dalam hal ini Negara khatulistiwa atau Indonesia ini memiliki
suatu perundang-undangan yang mengatur urusan tentang kehidupan beragama yakni
terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2, pembahasan pada makalah ini adalah seputar
menganalisa seberapa jauh relevansi antara ayat 1 dan 2 pada pasal 29 dalam sistem
perundang-undang NKRI ini.dan Sebagai makhluk sosial manusia tentunya
harus hidup sebuah masyarakat yang kompleks akan nilai karena terdiri dari
berbagai macam suku dan agama. Untuk menjaga persatuan antar umat beragama maka
diperlukan sikap toleransi.dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sikap memiliki
arti perbuatan dsb yang berdasarkan pada pendirian, dan atau keyakinan
sedangkan toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare
artinya menahan diri, bersikap sabar,membiarkan orang berpendapat lain, dan
berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda
BAB II
PERMASALAHAN
:
Pada dasarnya tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama nya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Karena itu ditegaskan
semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk
pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Yang lain tidak perlu
dipaksa pindah agama sebagaimana realita yang kita lihat selama ini. Setiap
orang memiliki hak dasar memeluk agama, yang berarti kebebasan dan kewenangan
seseorang untuk menganut suatu agama yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat
Al-kafirun 109:6 yang berbunyi “Lakum dinukum wa liya din” yang artinya : Untuk
kalian agama kalian dan untukku lah agamaku. Qur’an surat Al-Baqarah 2:256 yang
berbunyi “La ikraha fi al din” yang artinya : Tidak ada paksaan dalam agama”.
Sedangkan orang yang lain memiliki kewajiban untuk mengakui kewenangan orang
tersebut. Banyak kelompok menolak kemajemukan dalam beragama, mereka adalah
orang-orang yang biasanya beranggapan bahwasannya agama merekalah yang paling
otentik bersal dari tuhan. Sementara agama lain di anggap sebagai kontruksi
manusia, mungkin saja berasal dari tuhan tapi telah mengalami perombakan dan
pemalsuan oleh umat nya sendiri Seluruh agama mengajarkan agar umatnya
menyembah tuhan. Hanya saja sebagaimana lazimnya setiap agama atau kepercayaan
selalu memiliki konsepsi-konsepsi atau rumusan-rumusan tentang tuhan yang
kemungkinan berbeda antara satu umat dengan umat yang lain. Jadi suatu
kemajemukan merupakan suatu hal yang seharusnya dapat dimengerti oleh suatu
negara. Sehingga dinegara ini terciptanya sutu tatanan yang kondusif. Tanpa ada
suatu hal apapun yang menjadi bumerang. Setiap manusia mempunyai hak masing-
masing, apalagi masalah beragama. Contoh, yang tidak pernah selesai ada
permasalahan dalam beragama. Yang seharusnya masalah ini tidak harus
diperdebatkan, karena setiap individu pasti memiliki naluri ketuhanan yang
tidak boleh kita paksakan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa; didunia ini
banyak sekali agama- agama. Jadi jelaslah bagi kita agama tidak mungkin
tunggal. Dan apabila seseorang beranggapan bahwa hanya satu agamalah yang patut
ada dimuka bumi ini, itu adalah hal yang sangat mustahil sekali. Setiap agama
memiliki jalan sendiri- sendiri, jalan- jalan menuju tuhannya beragam, banyak ,
dan tak tunggal. Semuanya bergerak menuju tujuan yang satu ,yaitu Tuhan. Tuhan
yang satu yang tidak mungkin dipahami . Secara tunggal oleh seluruh umat
beragama kehendaki. Maka kita harus memiliki sikap toleransi dan sikap tenggang
rasa yang tinggi untuk menghargai dan menghormati setiap individu yang memiliki
agama yang berbeda dengan individu yang lain. Dengan begitu terciptanya sikap
saling mengakui dan saling mempercayai tanpa ada kekawatiran untuk
dikonversikan kedalam agama tertentu baik secara halus maupun terang- terangan.
Para aktivis LSM kerap kali terlibat dalam aksi bersama untuk melakukan kritik
terhadap intervrensi negara pada dominan agama yang memang bukan wilayahnya
hingga aksi mengadvokasi korban kekerasan atas nama agama, korban di
deskriminasi etnik dan korban pelanggaran HAM dan demokrasi. The Wahid
Institute melakukan advokasi, kepada kelompok Ahmadiyah yang belakangan
mengalami kekerasan , serta hal-hal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,
Hak Asasi Manusia (HAM), dan nilai-nilai demokrasi. Di samping itu, bersama
Crisis Center GKI ( Gereja Kristen Indonesia ), The Wahid Institute juga
menyelenggarakan workshop untuk kalangan pendeta dan calon pendeta. Workshop
yang berlangsung sebanyak sembilan kali pertemuan dan live in di pesantren
selama tiga hari itu bukan hanya membicarakan penegakan HAM , keadilan dan kesetaraan
gender, pluralisme agama, dan demokratisasi di Indonesia. Memperhatikan
fakta-fakta di atas, dialog agama tidak hanya bertumpu pada pemecahan problem
keberagamaan , melainkan juga diarahkan pada bagaimana agar dialog tersebut
memberi kontribusi signifikan bagi proses demokratisasi. Untuk tujuan itu, para
aktivis dialog agama kerap melakukan formulasi ulang terhadap
pandangan-pandangan normatif agamanya menyangkut hakikat manusia ,martabat
manusia, kesetaraan semua manusia dan solidaritas sejati antara sesama umat
manusia .Telah lama di sadari, dialog adalah langkah terwujudnya kehidupan
demokratis. Dialog melatih untuk membangun sikap saling memberi dan menerima
(take and give), tenggang rasa, saling mendengar, dan empati kepada orang lain.
Dari sini, dialog di harapakan dapat merumuskan langkah demokratis dengan
mengindentifikasi terlebih dulu sejumlah tantangan yang di hadapi masyarakat.
Sebab, tantangan yang di hadapi salah satu agama merupakan tantangan yang
dihadapi agama yang lain pula. Problem yang di hadapi agama, hakikat nya adalah
problem yang di hadapi seluruh manusia.
II. Fakta-fakta Ketidakbebasan Beragama dan BerkeyakinanSejarah kehidupan bangsa Indoneisa mencatat bahwa Fenomena diskriminasi dan kekerasan bukan hanya terjadi di dalam lingkup kehidupan agama. Akan tetapi di dalam lingkup kehidupan ekonomi yang berkelindan dengan masalah-masalah ras dan golongan. Diskriminasi dan kekerasan di masa lalu, khususnya di kota-kota besar, lebih didominasi oleh kecemburuan masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Dalam kasus Sampit, yang menonjol adalah kecemburuan masyarakat setempat terhadap etnis Madura. Pada masa lalu, di Aceh dan beberapa daerah lain, kecemburuan ditujukan kepada orang Jawa, terutama karena “orang Jawa” dianggap menguasai asset dan akses politik dan ekonomi melalui fasilitas negara. Namun sekarang ini, persoalan semakin bergeser ke ranah kehidupan agama dan keyakinan.
Namun, masalah kebebasan beragama dan keyakinan, sesungguhnya telah muncul juga pada masa Orde Lama, Orde baru. Hanya pada periode reformasi ini, masalah kebebasan beragama itu semakin meningkat intensitas maupun akselerasinya.
Di masa Orde Lama (1945-19660, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) RI No. 1 tahun 1965 yang menyatakan : “ agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu”. Penetapan ini bersifat menjelaskan, tidak membatasi. Hal ini dikemukakan dalam penjelasan Penpres tersebut : “ ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zaratustranian, Shinto, Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD’45, dan mereka dibiarkan adanya” Kata seperti artinya bahwa penyebutan beberapa kepercayaan itu sekedar contoh. Ada banyak agama dan kepercayaan lain yang berkembang dan diakui di Indonesia, seperti Kaharingan pada masyarakat Dayak (Kalteng), Pangestu pada masyarakat Jawa, atau Parmalim (Sumut), Wiwitan (Baduy-Banten). Semua agama dan kepercayaan itu dibiarkan adanya, meskipun tidak terlalu diakui eksistensinya (lihat Gaus AF, 2008).
Pada masa Orde Baru, pembatasan dilakukan terhadap agama Konghucu (yang pada masa Orde Lama justru diakui). Alasannya lebih bersifat politis, yaitu dugaan adanya keterlibatan Republik Rakyat Tiongkok pada peristiwa 1965. Sehingga melalui Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, seluruh aktivitas peribadatan Konghucu, termasuk perayaan Imlek, dilarang (ibid.)
Pada masa Orde Baru, agama resmi-yang diakui oleh negara hanya lima agama tersebut di atas. Agama-agama lokal diharuskan untuk bergabung dengan agama-agama yang mirip dengan agama atau kepercayaan lokal itu. Misalnya orang-orang yang memeluk agama Kaharingan harus masuk agama Hindu, meskipun sebenarnya kedua ajaran agama itu berbeda. Bagi mereka yang beragama Konghucu, dipaksa untuk pindah agama, menjadi Katolik atau Budha.
Berbagai proses untuk meniadakan eksistensi agama atau kepercayaan lokal dilakukan, antara lain melalui pembuatan kartu identitas diri, seperti pembuatan KSK atau KTP. Di dalam formulir yang harus diisi, hanya ada lima agama yang disebutkan, sehingga mereka yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda terpaksa harus menuliskan salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara. Untuk sebagian proses-proses itu masih berlangsung sampai sekarang.
Di masa reformasi sekarang ini, di mana kebebasan umum semakin terjamin, kebebasan beragama, terutama dari sisi keamanan para pemeluknya, justru mengalami kemunduran.
Jika di masa Orde Lama dan Orde Baru, pembatasan atas kebebasan beragama dilakukan oleh negara, sekarang pembatasan itu sebagian besar justru dilakukan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh karena itu, di jaman kebebasan ini, kelompok-kelompok minoritas, khususnya kelompok minoritas agama dan kepercayaan justru mengalami ketidakbebasan.
Kasus-kasus itu bergerak dan terus semakin membesar. Mulai kasus Komunitas Eden (Lia Eden), kasus Al-Qiyadah (Ahmad Mushadeeq), kasus penyerbuaan kantor Jaringan Islam Liberal, kantor Fahmina Institute di Cirebon, penyerbuan kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), hingga kasus Penyerbuan, penganiayaan, bahkan pembunuhan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah merupakan kasus paling besar dan nampaknya berjangka panjang, dengan puncaknya di Cikeusik, Banten. Di luar itu, kita menyaksikan penyerbuan Pesantren Syiah di Bangil-Pasuruan, Jawa Timur.
BAB III
PENUTUP
"Tidak ada
alasan apa pun bagi agama untuk menghakimi agama lain terkait perizinan”.
Justru dalam hal ini agama lain memberikan saran dan masukan melalui forum
antaragama yang ada. Aparat negara juga menjadi bagian penting untuk mencegah
terjadinya benturan dan melindungi korban kekerasan. Sekali kekerasan terjadi
seharusnya ada tindakan hukum sesuai prosedur yang berlaku. Kekhawatiran agama
tertentu terhadap proses agamisasi dari agama lain di dalam masyarakat bisa
menjadi faktor penyebab terjadinya konflik.
Jadi sudah selayaknya kita saling menghargai dan menghormati antar umat
beragam. Janganlah ini dijadikan sebagai sumber konflik dalam beragama. Dan
pemerintah juga harus memberikan penyelesaian atau respon yang baik terhadap
konflik yang ada. Agar setiap agama dapat menjalankan ibadahnya dengan baik
tanpa ada rasa takut atau intimidasi dari pihak lain yang nantinya dapat
menggangu jalannya ibadah.
Tinggal bagaimana kita dapat melaksanakan apa yang telah diatur oleh
pemerintah. Dalam proses pendirian rumah ibadah pun telah diatur
ketentuan-ketentuannya. Mulai dari perizinan lokasi nya sampai pembangunannya.
Adalah hak kita untuk berkumpul dan berserikat, gunakanlah hak anda sebaik-baik
mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Bersama Menteri Agama Dan
Menteri Dalam Negeri
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.
Nomor : 9 Tahun 2006 &Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.