Tulisan ini banyak berhutang inspirasi dari pikiran Nader Angha, untuk membayarnya akan disebut diawal tulisan ini. Ia seorang
pakar ilmu kepimpinan dalam kaitannya dengan ilmu tasawuf dari tarekat
kelompok Uwaisi yang merupakan keluarganya sendiri. Jika disimpulkan,
dalam kaitannya dengan kepemimpinan, Nader Angha membagi teori manajemen
kedalam delapan bagian. 1), teori mazhab kalasik, 2), teori mazhab adminstratif klasik, 3), teori mazhab manajemen perilaku, 4), teori ilmu manajemen, 5), teori sistem, 6),teori kontingensi, 7), teori kontrol kualitas, 8), teori, sistem informasi manajemen, 9), teori pengembangan organisasi dan transformasi organisasi.
Pertama, teori mazhab klasik, dalam teori ini individu ditempatkan sebagai “manusia organisasi”. Jika seseorang dapat
didisiplinkan melalui sarana, aturan, dan waktu yang sesuai, maka akan
menjadi seifisien dan seproduktif mesin. Imbalan uang cukuplah sebagai
motivasi. Teori ini memang dapat meningkatkan produktifitas, namun gagal
meyadari potensi manusia dan memperlakukannya secara manusiawi, bahkan
merendahkan nilainya hingga ke level mesin atau robot yang efisien.
Teori ini menganggap manusia sebagai sampah jika tidak berfungsi
sebagaimana mesin yang rusak dan mati.
Kedua,
teori mazhab adminstratif klasik, dalam teori ini individu dipandang
sebagai “manusia sosial”. teori ini menekankan pentingnya oraganisasi
dan bagaimana melalui kerjasama dan peningkatan hubungan antar sesame
organisasi bisa mencapai tujuannnya. Teori ini menghargai lingkungan
kerja, namun mengabaikan personal individu anggota organisasi dan
kemampuannya sebagai manusia yang memiliki bakat, talenta, kecerdasan,
potensi, fitrah yang banyak, beragam dan berbeda satu dengan lainnya.
Ketiga,
teori mazhab manajemen perilaku, teori ini sadar akan adanya kebutuhan
dan motiv anggota organisasi. Teori ini menyadari bahwa kepedulian pada
personal individu anggota organisasi akan mengarahkan mereka untuk
memberikan komemitmen yang tinggi terhadap organisasi. Dengan demikan,
produktifitas akan meningkat. Sejumlah teori motivasi yang lahir dari
teori ini termasuk pada era sekarang fokus pada motiv dan imbalan
ekstrinsik maupun intrinsik. Tetapi yang menjadi masalah adalah
mengenali kebutuhan yang tidak terhitung jumlahnya, berubah-ubah dari
seluruh anggota organisasi merupakan pekerjaan yang mustahil. Teori ini
memfokuskan pada individu, namun dengan suatu perspektif yang terbatas,
yaitu terbatas pada sisi eksistensi kemanusiaannya saja tanpa sisi
lainnya sebagai makhluk yang tercipta oleh suatu dzat yang lebih dahsyat
darinya, dzat yang maha tidak terbatas. Kendati demikan, setidaknya
teori ini menuju kearah yang benar.
Keempat,
teori ilmu manajemen, dalam teori ini perhatian terhadap manusia
digantikan dengan penggunaan sejumlah metode kuantitaif.
Oragnisasi-organisasi menjadi keranjingan menerapkan model dan teknik
manajemen ilmiah dalam perspektif kuantitatif, sehingga tidak
memperhatikan perubahan lingkungan dan merendahkan pentingnya
kreatifitas manusia. Tetapi teori ini tidak mumpuni menghadapi
globalisasi kehidupan dengan ciri semua serba terkait. Karena terlalu
fokus pada ukuran keilmiahan kuantitaif akhirnya mereka
kehilangan tempat untuk memasarkan hasil produksinya. Mahalnya beaya
lantaran kehilangan banyak pasar dan tersadarinya bahwa segala sesuatu
adalah saling terkait maka teori ini melaui mengarah kepada era teori
sistem.
Kelima, teori
sistem, teori ini merangsang para pemim;pinmanajer untuk memperlakukan
organisasi sebagai sistem terbuka. Pendekatan ini memfasilitasi
manajemen partisipasi pada level oraganisasi makro dan mikro. Pemimpin/
manajer perlu memperhatikan lingkungan. Memodifikasi strategi, dan
berdaptasi dengan perubahan. Dalam pandangan ini, suatu sistem disusun
oleh banyak bagian yang terpisah-pisah. Menganalissis seluruh bagian dan
hubungan antara bagian tesebut dapat memfasilitasi pemahaman akan
sistem keseluruhan. Miskipun teori ini mengenali vitalitas organiasi dan
profesionalisme sebagai suatu sistem terbuka, namun masih mengabaikan
keluasan individu sebagai suatu sistem terbuka. Padahal, individu yang
terus menerus bertukar informasi merupakan sumber kreatifitas dan
kemampuan yang berlimpah. Menyadari kelemahan teori ini, teori sistem membawa pada teori manajemen kontingensi.
Keenam,
teori manajemen kontingensi, yang menekankan bahwa cara terbaik untuk
mengelola ditentukan oleh pengenalan akan kontingensi-kontingensi yang
muncul dalam situasi tertentu. Jelaslah, manjemen telah bergeser dari
absolut ke relatif. Teori kontingensi adalah suatu perpindahan radikal
dari teori manajemen klasik. Cara mengelola yang terbaik mengalami
perubahan paradigma, bahwa tidak ada cara optimal dalam manajemen dalam
setiap situasi, sejumlah variabel kunci atau kontingensi perlu
diidentifikasi dan langkah manajerial tertentu harus dijalankan. Namun,
dalam satu lingkungan multinasional dan angkatan kerja yang semakin
beragam, penerapan teori manajemen kontingensi merupakan suatu tantang
besar, khususnya dalam sebuah pasar kompetitif, dimana target utamanya
adalah meningkatkan pruduktiftas dengan ongkos serendah-rendahnya.
Ketujuh, teori kontrol kualitas (Quality Control)
dan pemberlakuan kembali manajemen partisipasi komitmen. Komitmen luas
organisasi terhadap proses pengembangan, persamaan tujuan, pemberdayaan
karyawan, dan kepuasan pelanggan, secara berkelanjutan merupakan inti
menajemen kualitas. Kendati begitu, mayoritas pemimpin perusahaan tidak
puas dengan hasil keseluruhan penerapan metode kontrol kualitas seperti
TQM. Faktor yang paling kritis bagi implementasi TQM yang sukses adalah
komitmen dari seluruh pekerja. Tetapi yang menjadi masalah adalah
mencapai kesediaan dan motivasi menyeluruh lewat tujuan umum dalam suatu
anggota organisasi yang memiliki karakter individualistik yang kuat
bukanlah persoalan ringan.
Kedelapan,
teori Sistem Informasi Manajemen (SIM) , teori ini menekan manajemen
pada peran-peran teknologi informasi. Kita telah mengetahui bahwa
kemajuan teknologi informasi dan aplikasinya dalam manajemen telah
memberikan sejumlah keuntungan bagi perusahan dan organisasi yang
memanfaatkannya. Namun, faktor manusianya menderita. Pekerja baru yang
berpengetahuan harus mnyepakati filsafat perusahaan yang berubah-ubah,
pembelajaran yang terus-menerus, dan tanggung jawab yang lebih berat. Ia
juga harus menghadapi tantangan fisik dan emosional, dan berkomitmen.
Meski demikian, pencapaian titik tertinggi revolusi moral dan memiliki
prinsip etis yang kuat tidak serta – merta melahirkan perubahan berarti
dalam paradigma individu. Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendasar:
kekuatan apakah yang memberdayakan dan melepaskan energi, komitmen, dan
antusiasme individu?. Adakah suatu pandangan yang lebih dalam, suatu
dimensi yang lebih tinggi, yang melampaui batas-batas yang dimunculkan
budaya, masyarakat, ras, gender, dan etnis, yang bisa memberi kita suatu
rumus agar berdaya dan dapat mengelola.
Kesembilan, teori pengembangan organisasi (PO), transformasi
organisasi (TO) dan perubahan model-model sekarang, kita mengenal bahwa
teori-teori tersebut di bangun atas konseptualitas individu sebagai
seorang “ makhluk sosial”. Mereka kurang fokus pada realitas individu
itu sendiri. Pada level makro, fokusnya adalah membangun keterpaduan
melalui visi perusahaan atau tujuan bersama. Kendati demikian,
pendekatan-pendekatan tersebut tidak meresap hingga ke kesadaran
individu agar bertransformasi dan mengubah paradigma. pada level mikro,
fokus pada individu terbatas pada semacam pendekatan dari luar ke dalam.
Stimulus, atau motivator, selalu saja berasal dari lingkungan, bukan
dari individu itu sendiri. Oleh karenanya, perubahan dan transformasi
personal tidak terjadi.
Bagaimana dengan evolusi teori kepemimpinan?.
Umumnya, teori-teori kepemimpinan memiliki suatu pendekatan kontingensi
dan masih mempromosikan metode-motode non partisipasi dalam keadaan
tertentu. Dalam era informasi yang berubah-ubah, signifikansi manajemen
partisipasi terbukti dalam segala level, sehingga gaya nonpartisipasi
tidak bermanfaat. Pada level makro, fokus teori-teori kepemimpinan
adalah pada pendekatan dari luar kedalam (outside-in aprouch), dan keparipurnaan individu sebagai suatu sistem yang benar-benar terbuka diabaikan.
Kepemimpinan berpedoman prinsip memajukan suatu pendekatan dari dalam- keluar (in side-out aprouch). Teori ini menggaris bawahi bahwa individu bisa diberdayakan dan dimotivasi jika tindakan mereka dilandasi etika, karakter dan prinsip yang mendasar.
Sayangnya, dalam kebanyakan kondisi, kita melihat bahwa individu itu
mengetahui prinsip, namun tidak memiliki keinginan, hasrat, atau
keinginan untuk mengimplementasikannya. Lebih jauh, tidak ada perhatian
terhadap sumber prinsip.
Teori-teori
mutakhir tentang kepemimpinan dan motivasi berorientasi pada orang,
namun, fokusnya pada aspek-aspek manusia yang terbatas. Organisasi, kini
mulai menyadari kemenyeluruhan individu. Mereka menyadari bahwa
kesejahteraan individu bisa dicapai jika berbagai macam aspek
kehidupannya seimbang. Keseimbangann fisik, mental, emosioanal, dan
spritual adalah kunci kesejahteran individu sebagai organisasi secara
keseluruhan. Namun, aplikasi, soulusi dan metode yang terbatas tidak
melahirkan keseimbangan hidup. Keseluruhan fisik jagad raya kita adalah
hubungan yang berlimpah; hukum alam yang sejati ini nirbatas dan berlaku
pada semua level. Manusia dapat menemukan kemampuan inherennya sebagai
suatu sistem terbuka hanya jika berada dalam harmoni dengan hukum
eksistensi.
Jika ditipologikan, secara umum evolusi teori kepemimpinan dapat di kelompokkan sebagai berikut. Pertama, kepemimpinan
tradisional mempunyai titik berangkat dari semangat penguasaan kepada
yang lain, maka pendudukan fisik menjadi ciri utama dari perilaku
kepemimpinan ini. Fokus garapannya adalah segala hal yang yang pragmatis
untuk memenuhi keinginan-keinginan biologis semacam makan, minum, sek
dan lainnya. Hal-hal pragmatis itu berupa badan, harta, tanah, hasil
perkebunan dan pertanian serta penguasaaan-penguasaan lainnya. Cara-
cara yang ditempuh adalah peperangan, pembunuhan, pendudukan, pengusiran
dan penguasaan.
Kedua, kepemimpinan
transaksional mempunyai titik berangkat dari semangat ingin memiliki
apa yang dimiliki orang lain. Fokus garapannya adalah segala hal yang
menarik dan sedang dimiliki orang lain. Cara-cara yang dijalani adalah
tawar-menawar, tansaksi-transaksi, misalnya saya mendapat apa? kamu
mendapat apa?, semua itu dilakukan untuk mempengaruhi orang lain agar
merelakan kelebihan dan segala yang dimilikinya untuk mekajuain diri dan
organisasi. Bandrolisasi dengan angka-angka harga uang, jabatan,
balasan, kemulyaan dan lainnya sangat mewarnai proses perilaku
kepemimpinan transaksional ini.
Ketiga, kepemimpinan
karismatik, ialah kepemimpinan yang berangkat dari dari semangat untuk
menyelesaikan kekacauan sosial yang terjadi dengan menawarkan visi
sebagai solusi. Fokus garapan kepemimpinan ini adalah individu-individu
masyarakat untuk disatukan dan diikat dengan jaringan emosionalitas yang
kuat terhadap visi yang ditawarkan, kecendrungan perilaku kepemimpinan
ini adalah pengkultusan individu pemimpin.
Keempat,
kepemimpinan transformasional, adalah model kepemimpinan yang berangkat
dari keinginan kuat untuk mentransformasi organisasi menuju perubahan
dan perbaikan. Fokusnya
untuk mewujudkan visi organisasi dengan melakukan transformasi visi
anggota organisasi agar berdampak terhadap terwujudnya visi dan misi
organisasi.
Dalam rangka itu, pemimpin transformasional melakukan stimulasi,
motivasi, menginspirasi dan memberikan perhatian invidu yang dipimpin.
Empat perilaku tersebut adalah komponen perilaku kepemimpinan
tansformasional.
Kelima, kepemimpinan
spritual, ialah kepemimpinan yang berangkat dari nilai-nilai spritual
yang agung dan biasanya lekat dengan nilai-nilai Ilahiyyah. Model
kepemimpinan ini percaya akan pendekatan individu bukan lingkungan,
bahwa dengan pemberdayaan individu-indvidu secara spritual merupakan
kunci untuk menciptakan organisasi yang baik secara sistemik, karena
senyatanya organisasi adalah kumpulan individu-individu. Fokus garapan
model kepemimpinan ini adalah pribadi-pribadi yang menjadi anggota
organisasi agar mengasah dan memunculkan potensi nilai-nilai agung dan
Ilahiyyah yang sudah ada pada masing-masing diri mereka. Pemunculan
nilai-nilai agung tersebut diharapkan berdampak terhadap kreatifitas dan
produktifitas kerja dan kinerja, pada akhirnya sistem organisasi secara
keseluruhan.
Nampaknya
kecendrungan teori kepemimpinan kedepan akan cendrung mengarah kepada
pemberdayaan personal individu secara menyeluruh dan utuh, seperti
halnya penggabungan teori transformasional dan spritual yang akhir-akhir
ini telah menjadi wacana mutakhir tentang teori kepemimpinan.
Selanjutnya silahkan membaca buku "Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam" (UIN-Maliki Press, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar