Minggu, 08 Januari 2012

Evolusi Teori Manajemen dan Kepemimpinan:

 
Tulisan ini banyak berhutang inspirasi dari pikiran Nader Angha, untuk membayarnya akan disebut diawal tulisan  ini. Ia seorang pakar ilmu kepimpinan dalam kaitannya dengan ilmu tasawuf dari tarekat kelompok Uwaisi yang merupakan keluarganya sendiri. Jika disimpulkan, dalam kaitannya dengan kepemimpinan, Nader Angha membagi teori manajemen kedalam delapan bagian. 1), teori mazhab kalasik, 2), teori mazhab adminstratif klasik, 3), teori mazhab manajemen perilaku, 4), teori ilmu manajemen, 5), teori sistem, 6),teori kontingensi, 7), teori kontrol kualitas, 8), teori, sistem informasi manajemen, 9), teori pengembangan organisasi dan transformasi organisasi.
Pertama, teori mazhab klasik, dalam teori ini individu ditempatkan sebagai “manusia organisasi”. Jika seseorang dapat didisiplinkan melalui sarana, aturan, dan waktu yang sesuai, maka akan menjadi seifisien dan seproduktif mesin. Imbalan uang cukuplah sebagai motivasi. Teori ini memang dapat meningkatkan produktifitas, namun gagal meyadari potensi manusia dan memperlakukannya secara manusiawi, bahkan merendahkan nilainya hingga ke level mesin atau robot yang efisien. Teori ini menganggap manusia sebagai sampah jika tidak berfungsi sebagaimana mesin yang rusak dan mati.
Kedua, teori mazhab adminstratif klasik, dalam teori ini individu dipandang sebagai “manusia sosial”. teori ini menekankan pentingnya oraganisasi dan bagaimana melalui kerjasama dan peningkatan hubungan antar sesame organisasi bisa mencapai tujuannnya. Teori ini menghargai lingkungan kerja, namun mengabaikan personal individu anggota organisasi dan kemampuannya sebagai manusia yang memiliki bakat, talenta, kecerdasan, potensi, fitrah yang banyak, beragam dan berbeda satu dengan lainnya.
Ketiga, teori mazhab manajemen perilaku, teori ini sadar akan adanya kebutuhan dan motiv anggota organisasi. Teori ini menyadari bahwa kepedulian pada personal individu anggota organisasi akan mengarahkan mereka untuk memberikan komemitmen yang tinggi terhadap organisasi. Dengan demikan, produktifitas akan meningkat. Sejumlah teori motivasi yang lahir dari teori ini termasuk pada era sekarang fokus pada motiv dan imbalan ekstrinsik maupun intrinsik. Tetapi yang menjadi masalah adalah mengenali kebutuhan yang tidak terhitung jumlahnya, berubah-ubah dari seluruh anggota organisasi merupakan pekerjaan yang mustahil. Teori ini memfokuskan pada individu, namun dengan suatu perspektif yang terbatas, yaitu terbatas pada sisi eksistensi kemanusiaannya saja tanpa sisi lainnya sebagai makhluk yang tercipta oleh suatu dzat yang lebih dahsyat darinya, dzat yang maha tidak terbatas. Kendati demikan, setidaknya teori ini menuju kearah yang benar.
Keempat, teori ilmu manajemen, dalam teori ini perhatian terhadap manusia digantikan dengan penggunaan sejumlah metode kuantitaif. Oragnisasi-organisasi menjadi keranjingan menerapkan model dan teknik manajemen ilmiah dalam perspektif kuantitatif, sehingga tidak memperhatikan perubahan lingkungan dan merendahkan pentingnya kreatifitas manusia. Tetapi teori ini tidak mumpuni menghadapi globalisasi kehidupan dengan ciri semua serba terkait. Karena terlalu fokus pada ukuran keilmiahan kuantitaif akhirnya mereka kehilangan tempat untuk memasarkan hasil produksinya. Mahalnya beaya lantaran kehilangan banyak pasar dan tersadarinya bahwa segala sesuatu adalah saling terkait maka teori ini melaui mengarah kepada era teori sistem.
Kelima, teori sistem, teori ini merangsang para pemim;pinmanajer untuk memperlakukan organisasi sebagai sistem terbuka. Pendekatan ini memfasilitasi manajemen partisipasi pada level oraganisasi makro dan mikro. Pemimpin/ manajer perlu memperhatikan lingkungan. Memodifikasi strategi, dan berdaptasi dengan perubahan. Dalam pandangan ini, suatu sistem disusun oleh banyak bagian yang terpisah-pisah. Menganalissis seluruh bagian dan hubungan antara bagian tesebut dapat memfasilitasi pemahaman akan sistem keseluruhan. Miskipun teori ini mengenali vitalitas organiasi dan profesionalisme sebagai suatu sistem terbuka, namun masih mengabaikan keluasan individu sebagai suatu sistem terbuka. Padahal, individu yang terus menerus bertukar informasi merupakan sumber kreatifitas dan kemampuan yang berlimpah. Menyadari kelemahan teori ini, teori sistem membawa pada teori manajemen kontingensi.
Keenam, teori manajemen kontingensi, yang menekankan bahwa cara terbaik untuk mengelola ditentukan oleh pengenalan akan kontingensi-kontingensi yang muncul dalam situasi tertentu. Jelaslah, manjemen telah bergeser dari absolut ke relatif. Teori kontingensi adalah suatu perpindahan radikal dari teori manajemen klasik. Cara mengelola yang terbaik mengalami perubahan paradigma, bahwa tidak ada cara optimal dalam manajemen dalam setiap situasi, sejumlah variabel kunci atau kontingensi perlu diidentifikasi dan langkah manajerial tertentu harus dijalankan. Namun, dalam satu lingkungan multinasional dan angkatan kerja yang semakin beragam, penerapan teori manajemen kontingensi merupakan suatu tantang besar, khususnya dalam sebuah pasar kompetitif, dimana target utamanya adalah meningkatkan pruduktiftas dengan ongkos serendah-rendahnya.
Ketujuh, teori kontrol kualitas (Quality Control) dan pemberlakuan kembali manajemen partisipasi komitmen. Komitmen luas organisasi terhadap proses pengembangan, persamaan tujuan, pemberdayaan karyawan, dan kepuasan pelanggan, secara berkelanjutan merupakan inti menajemen kualitas. Kendati begitu, mayoritas pemimpin perusahaan tidak puas dengan hasil keseluruhan penerapan metode kontrol kualitas seperti TQM. Faktor yang paling kritis bagi implementasi TQM yang sukses adalah komitmen dari seluruh pekerja. Tetapi yang menjadi masalah adalah mencapai kesediaan dan motivasi menyeluruh lewat tujuan umum dalam suatu anggota organisasi yang memiliki karakter individualistik yang kuat bukanlah persoalan ringan.
Kedelapan, teori Sistem Informasi Manajemen (SIM) , teori ini menekan manajemen pada peran-peran teknologi informasi. Kita telah mengetahui bahwa kemajuan teknologi informasi dan aplikasinya dalam manajemen telah memberikan sejumlah keuntungan bagi perusahan dan organisasi yang memanfaatkannya. Namun, faktor manusianya menderita. Pekerja baru yang berpengetahuan harus mnyepakati filsafat perusahaan yang berubah-ubah, pembelajaran yang terus-menerus, dan tanggung jawab yang lebih berat. Ia juga harus menghadapi tantangan fisik dan emosional, dan berkomitmen. Meski demikian, pencapaian titik tertinggi revolusi moral dan memiliki prinsip etis yang kuat tidak serta – merta melahirkan perubahan berarti dalam paradigma individu. Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: kekuatan apakah yang memberdayakan dan melepaskan energi, komitmen, dan antusiasme individu?. Adakah suatu pandangan yang lebih dalam, suatu dimensi yang lebih tinggi, yang melampaui batas-batas yang dimunculkan budaya, masyarakat, ras, gender, dan etnis, yang bisa memberi kita suatu rumus agar berdaya dan dapat mengelola.
Kesembilan, teori pengembangan organisasi (PO), transformasi organisasi (TO) dan perubahan model-model sekarang, kita mengenal bahwa teori-teori tersebut di bangun atas konseptualitas individu sebagai seorang “ makhluk sosial”. Mereka kurang fokus pada realitas individu itu sendiri. Pada level makro, fokusnya adalah membangun keterpaduan melalui visi perusahaan atau tujuan bersama. Kendati demikian, pendekatan-pendekatan tersebut tidak meresap hingga ke kesadaran individu agar bertransformasi dan mengubah paradigma. pada level mikro, fokus pada individu terbatas pada semacam pendekatan dari luar ke dalam. Stimulus, atau motivator, selalu saja berasal dari lingkungan, bukan dari individu itu sendiri. Oleh karenanya, perubahan dan transformasi personal tidak terjadi.
Bagaimana dengan evolusi teori kepemimpinan?. Umumnya, teori-teori kepemimpinan memiliki suatu pendekatan kontingensi dan masih mempromosikan metode-motode non partisipasi dalam keadaan tertentu. Dalam era informasi yang berubah-ubah, signifikansi manajemen partisipasi terbukti dalam segala level, sehingga gaya nonpartisipasi tidak bermanfaat. Pada level makro, fokus teori-teori kepemimpinan adalah pada pendekatan dari luar kedalam (outside-in aprouch), dan keparipurnaan individu sebagai suatu sistem yang benar-benar terbuka diabaikan.
Kepemimpinan berpedoman prinsip memajukan suatu pendekatan dari dalam- keluar (in side-out aprouch). Teori ini menggaris bawahi bahwa individu bisa diberdayakan dan dimotivasi jika tindakan mereka dilandasi etika, karakter dan prinsip yang mendasar. Sayangnya, dalam kebanyakan kondisi, kita melihat bahwa individu itu mengetahui prinsip, namun tidak memiliki keinginan, hasrat, atau keinginan untuk mengimplementasikannya. Lebih jauh, tidak ada perhatian terhadap sumber prinsip.
Teori-teori mutakhir tentang kepemimpinan dan motivasi berorientasi pada orang, namun, fokusnya pada aspek-aspek manusia yang terbatas. Organisasi, kini mulai menyadari kemenyeluruhan individu. Mereka menyadari bahwa kesejahteraan individu bisa dicapai jika berbagai macam aspek kehidupannya seimbang. Keseimbangann fisik, mental, emosioanal, dan spritual adalah kunci kesejahteran individu sebagai organisasi secara keseluruhan. Namun, aplikasi, soulusi dan metode yang terbatas tidak melahirkan keseimbangan hidup. Keseluruhan fisik jagad raya kita adalah hubungan yang berlimpah; hukum alam yang sejati ini nirbatas dan berlaku pada semua level. Manusia dapat menemukan kemampuan inherennya sebagai suatu sistem terbuka hanya jika berada dalam harmoni dengan hukum eksistensi.
Jika ditipologikan, secara umum evolusi teori kepemimpinan dapat di kelompokkan sebagai berikut. Pertama, kepemimpinan tradisional mempunyai titik berangkat dari semangat penguasaan kepada yang lain, maka pendudukan fisik menjadi ciri utama dari perilaku kepemimpinan ini. Fokus garapannya adalah segala hal yang yang pragmatis untuk memenuhi keinginan-keinginan biologis semacam makan, minum, sek dan lainnya. Hal-hal pragmatis itu berupa badan, harta, tanah, hasil perkebunan dan pertanian serta penguasaaan-penguasaan lainnya. Cara- cara yang ditempuh adalah peperangan, pembunuhan, pendudukan, pengusiran dan penguasaan.
Kedua, kepemimpinan transaksional mempunyai titik berangkat dari semangat ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain. Fokus garapannya adalah segala hal yang menarik dan sedang dimiliki orang lain. Cara-cara yang dijalani adalah tawar-menawar, tansaksi-transaksi, misalnya saya mendapat apa? kamu mendapat apa?, semua itu dilakukan untuk mempengaruhi orang lain agar merelakan kelebihan dan segala yang dimilikinya untuk mekajuain diri dan organisasi. Bandrolisasi dengan angka-angka harga uang, jabatan, balasan, kemulyaan dan lainnya sangat mewarnai proses perilaku kepemimpinan transaksional ini.
Ketiga, kepemimpinan karismatik, ialah kepemimpinan yang berangkat dari dari semangat untuk menyelesaikan kekacauan sosial yang terjadi dengan menawarkan visi sebagai solusi. Fokus garapan kepemimpinan ini adalah individu-individu masyarakat untuk disatukan dan diikat dengan jaringan emosionalitas yang kuat terhadap visi yang ditawarkan, kecendrungan perilaku kepemimpinan ini adalah pengkultusan individu pemimpin.
Keempat, kepemimpinan transformasional, adalah model kepemimpinan yang berangkat dari keinginan kuat untuk mentransformasi organisasi menuju perubahan dan perbaikan. Fokusnya untuk mewujudkan visi organisasi dengan melakukan transformasi visi anggota organisasi agar berdampak terhadap terwujudnya visi dan misi organisasi. Dalam rangka itu, pemimpin transformasional melakukan stimulasi, motivasi, menginspirasi dan memberikan perhatian invidu yang dipimpin. Empat perilaku tersebut adalah komponen perilaku kepemimpinan tansformasional.
Kelima, kepemimpinan spritual, ialah kepemimpinan yang berangkat dari nilai-nilai spritual yang agung dan biasanya lekat dengan nilai-nilai Ilahiyyah. Model kepemimpinan ini percaya akan pendekatan individu bukan lingkungan, bahwa dengan pemberdayaan individu-indvidu secara spritual merupakan kunci untuk menciptakan organisasi yang baik secara sistemik, karena senyatanya organisasi adalah kumpulan individu-individu. Fokus garapan model kepemimpinan ini adalah pribadi-pribadi yang menjadi anggota organisasi agar mengasah dan memunculkan potensi nilai-nilai agung dan Ilahiyyah yang sudah ada pada masing-masing diri mereka. Pemunculan nilai-nilai agung tersebut diharapkan berdampak terhadap kreatifitas dan produktifitas kerja dan kinerja, pada akhirnya sistem organisasi secara keseluruhan.
Nampaknya kecendrungan teori kepemimpinan kedepan akan cendrung mengarah kepada pemberdayaan personal individu secara menyeluruh dan utuh, seperti halnya penggabungan teori transformasional dan spritual yang akhir-akhir ini telah menjadi wacana mutakhir tentang teori kepemimpinan.

Selanjutnya silahkan membaca buku "Pemimpin Transformasional di Lembaga Pendidikan Islam" (UIN-Maliki Press, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar